BPF Malang

Image

Bestprofit | Brent Naik 3% Imbas Konflik Israel-Iran

Bestprofit (20/6) – Harga minyak mentah melonjak tajam pada hari Kamis (19/6), menyusul meningkatnya ketegangan geopolitik antara Israel dan Iran serta spekulasi keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik tersebut. Lonjakan ini menandai respons pasar terhadap risiko gangguan suplai minyak global, terutama dari kawasan Timur Tengah, yang memainkan peran krusial dalam rantai pasokan energi dunia.

Harga Minyak Capai Level Tertinggi Sejak Januari

Kontrak berjangka minyak mentah Brent, yang menjadi patokan global, naik $2,15 atau 2,8% menjadi $78,85 per barel—harga penutupan tertinggi sejak 22 Januari. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juli naik $2,06 atau 2,7% ke level $77,20 per barel pada pukul 13.30 EST.

Meskipun volume perdagangan relatif rendah karena hari libur federal di Amerika Serikat, lonjakan harga menunjukkan kekhawatiran serius investor terhadap potensi gangguan pasokan energi. Pasar minyak, yang sebelumnya cenderung lesu, kini kembali menggeliat karena ketegangan geopolitik yang memanas.

Bestprofit | Harga Minyak Menguat Akibat Kekhawatiran Timur Tengah

Konflik Berkepanjangan Picu Ketakutan Pasar

Perang udara yang telah berlangsung selama seminggu antara Israel dan Iran semakin intensif pada hari Kamis. Israel melancarkan serangan terhadap target nuklir di Iran, sementara Teheran membalas dengan peluncuran rudal dan drone ke berbagai wilayah di Israel, termasuk serangan terhadap rumah sakit pada malam sebelumnya.

Situasi ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang stabilitas kawasan. Tidak ada tanda-tanda deeskalasi: Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa Teheran akan membayar “harga penuh,” sementara Iran memperingatkan keras agar tidak ada “pihak ketiga” yang ikut campur dalam konflik ini.


Kunjungi juga : bestprofit futures

AS di Persimpangan: Keterlibatan Trump dalam Sorotan

Gedung Putih mengonfirmasi bahwa Presiden Donald Trump akan membuat keputusan dalam dua minggu ke depan mengenai apakah AS akan turut terlibat dalam konflik tersebut. Ketidakpastian ini menambah ketegangan pasar, karena potensi keterlibatan kekuatan militer terbesar di dunia akan sangat berdampak pada perdagangan dan stabilitas energi global.

Menurut Rory Johnston, analis dan pendiri buletin Commodity Context, pasar kini mulai menyusun konsensus bahwa keterlibatan AS dalam konflik ini sangat mungkin terjadi. “Konsensus (di pasar) semakin terbentuk bahwa kita akan melihat keterlibatan AS dalam beberapa hal,” ujarnya.

Selat Hormuz: Jalur Perdagangan Vital dalam Ancaman

Iran merupakan produsen minyak terbesar ketiga di antara anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), dengan kapasitas produksi sekitar 3,3 juta barel per hari. Yang lebih mengkhawatirkan, sekitar 18 hingga 21 juta barel minyak mentah dan produk minyak per hari melewati Selat Hormuz, sebuah jalur sempit di sepanjang pantai selatan Iran.

Analis dari RBC Capital, Helima Croft, memperingatkan bahwa jika Iran merasa terancam secara eksistensial, risiko gangguan besar terhadap arus minyak melalui Selat Hormuz akan meningkat drastis. Skenario ini mencakup kemungkinan serangan langsung terhadap kapal tanker dan infrastruktur energi, yang dapat mengguncang pasar minyak global secara luas.

Prediksi Harga Minyak Jika Ketegangan Meningkat

Dampak dari konflik ini terhadap harga minyak bisa menjadi sangat signifikan. JP Morgan, dalam catatan analisnya, menyebutkan bahwa dalam skenario ekstrem—di mana konflik meluas ke wilayah yang lebih besar dan menyebabkan penutupan Selat Hormuz—harga minyak mentah bisa melonjak ke kisaran $120 hingga $130 per barel.

Sementara itu, Goldman Sachs memperkirakan bahwa premi risiko geopolitik sebesar $10 per barel saat ini sudah layak, mengingat ancaman terhadap pasokan dari Iran dan potensi gangguan yang lebih luas. Menurut prediksi bank tersebut, minyak mentah Brent bisa menembus $90 dalam waktu dekat jika ketegangan terus berlanjut.

Pasar Mulai Sadari Bahaya Risiko Geopolitik

Phil Flynn, analis senior dari Price Futures Group, mengatakan bahwa konflik ini telah “membangunkan” pasar dari rasa puas diri yang telah berlangsung dalam beberapa bulan terakhir. “Saya berpendapat bahwa pasar telah meremehkan risiko geopolitik,” ujarnya. Dalam kondisi yang tidak pasti seperti sekarang, reaksi pasar terhadap berita-berita eskalasi bisa menjadi semakin tajam.

Flynn juga memperingatkan bahwa bahkan jika konflik mereda dalam beberapa hari ke depan, harga minyak kemungkinan tidak akan kembali ke kisaran rendah $60-an seperti yang terlihat sebulan lalu. Kecemasan terhadap kemungkinan konflik susulan tetap menjadi faktor yang menjaga harga tetap tinggi.

Proyeksi DBRS Morningstar: Lonjakan Bersifat Sementara

Namun demikian, tak semua analis sepakat bahwa lonjakan harga minyak akan bertahan lama. DBRS Morningstar dalam catatannya menyebutkan bahwa lonjakan harga minyak yang terjadi saat ini kemungkinan bersifat sementara.

Menurut lembaga tersebut, jika ketegangan menurun, premi perang yang saat ini mendongkrak harga minyak akan segera menghilang. Lonjakan harga yang berkelanjutan justru bisa menjadi hambatan terhadap permintaan global karena meningkatkan tekanan inflasi dan memperlambat pemulihan ekonomi global.

OPEC+ Tetap Tenang: Produksi Bisa Naik

Di tengah ketegangan ini, pejabat energi dari Rusia menyerukan agar OPEC+ tetap pada rencana awalnya untuk meningkatkan produksi. Wakil Perdana Menteri Rusia, Alexander Novak, dalam forum ekonomi di St. Petersburg, menekankan bahwa OPEC+ sebaiknya tidak panik menghadapi gejolak pasar dan tetap melanjutkan kebijakan produksinya sesuai permintaan musiman yang meningkat pada musim panas.

Ini menunjukkan bahwa di balik ketidakpastian geopolitik, kebijakan fundamental di sektor energi tetap berjalan sesuai rencana jangka panjang, setidaknya untuk saat ini.

Kesimpulan: Risiko Global Terus Bayangi Pasar Energi

Harga minyak saat ini berada di persimpangan antara tekanan geopolitik dan fundamental pasar energi. Kenaikan tajam harga minyak pada hari Kamis mencerminkan kekhawatiran investor terhadap risiko eskalasi konflik antara Israel dan Iran, serta potensi dampak dari keterlibatan AS.

Jalur perdagangan energi utama seperti Selat Hormuz kini dalam sorotan, dan skenario penutupan atau gangguan parah di wilayah tersebut dapat memicu lonjakan harga lebih lanjut. Meski ada pendapat bahwa lonjakan ini bersifat sementara, banyak analis percaya bahwa pasar tidak lagi bisa mengabaikan risiko geopolitik yang telah lama diremehkan.

Ketidakpastian masih mendominasi, dan selama tidak ada jalan keluar diplomatik yang jelas dari konflik ini, pasar minyak akan tetap berada dalam mode waspada tinggi. Untuk saat ini, minyak kembali menjadi indikator utama ketegangan dunia—dan kemungkinan besar akan tetap demikian untuk beberapa waktu ke depan.