
Bestprofit | Pasar Minyak Tenang, Tarif AS Jadi Sorotan
Bestprofit (16/4) – Harga minyak sedikit berubah pada hari Selasa karena investor mencoba mencerna kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump yang terus berubah-ubah. Ketidakpastian ini membebani prospek pertumbuhan ekonomi global dan permintaan energi, terutama minyak mentah, di tengah meningkatnya kekhawatiran mengenai potensi perlambatan ekonomi yang lebih dalam.
Harga Minyak Stabil, Tapi Tertekan
Minyak mentah Brent untuk kontrak berjangka turun 21 sen, atau 0,3%, menjadi $64,67 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS juga turun sebesar 20 sen, atau 0,3%, menjadi $61,33 per barel. Meskipun pergerakannya relatif kecil, harga ini berada dalam tren penurunan selama bulan April.
Pasar minyak kini berada dalam posisi yang rapuh, terombang-ambing oleh berita geopolitik dan ekonomi, di mana investor berusaha memahami arah kebijakan Trump dan dampaknya terhadap arus perdagangan global.
Bestprofit | Minyak Tenang, Fokus ke AS-Iran
Ketidakpastian Kebijakan Tarif Membayangi Pasar Energi
Kebijakan perdagangan yang berubah-ubah dari Gedung Putih menimbulkan ketidakpastian serius bagi pasar minyak. Sejak Trump mengumumkan niat untuk memperluas dan memodifikasi tarif terhadap berbagai produk, termasuk mobil asing, investor menjadi semakin berhati-hati.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) bahkan menurunkan proyeksi permintaan minyak global karena kekhawatiran bahwa perang dagang yang berkepanjangan akan mengganggu pertumbuhan ekonomi global. Penurunan permintaan ini menjadi ancaman besar bagi harga minyak dalam jangka menengah hingga panjang.
Kunjungi juga : bestprofit futures
Prediksi Pertumbuhan Permintaan Minyak Melambat
Badan Energi Internasional (IEA) menegaskan kembali proyeksinya bahwa pertumbuhan permintaan minyak global pada tahun 2025 akan berada pada laju paling lambat dalam lima tahun terakhir. Hal ini dipicu oleh kekhawatiran bahwa konflik dagang yang berlarut-larut, khususnya antara AS dan Tiongkok, akan menurunkan aktivitas ekonomi dan mengurangi konsumsi energi.
Kondisi ini diperparah oleh prediksi perlambatan ekonomi AS dan potensi pendaratan keras ekonomi Tiongkok jika ketegangan dagang terus meningkat.
Analis Memangkas Perkiraan Harga Minyak
Beberapa lembaga keuangan besar seperti UBS, BNP Paribas, dan HSBC telah menurunkan prediksi harga minyak mentah mereka. Giovanni Staunovo, analis dari UBS, memperingatkan bahwa jika ketegangan dagang meningkat, skenario terburuk—yakni resesi AS dan perlambatan tajam di Tiongkok—dapat menyebabkan harga Brent turun ke kisaran $40–60 per barel dalam beberapa bulan mendatang.
Pandangan ini mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas bahwa ketegangan geopolitik dapat membawa dampak nyata terhadap neraca pasokan-permintaan minyak global.
Kenaikan Pasokan OPEC+ Menekan Harga
Selain kekhawatiran permintaan, pasar juga dibebani oleh peningkatan pasokan dari kelompok OPEC+ yang terdiri dari OPEC dan sekutunya seperti Rusia. Kenaikan pasokan ini terjadi bersamaan dengan lemahnya prospek permintaan, menciptakan tekanan ganda yang menyebabkan harga minyak anjlok sekitar 13% sejauh bulan ini.
Meskipun Arab Saudi dan beberapa produsen utama telah mencoba menstabilkan pasar melalui pengurangan produksi, ketidakseimbangan pasar tetap menjadi masalah utama.
Pernyataan Trump: Tarik Ulur Tarif
Komentar Presiden Trump pada hari Senin bahwa ia tengah mempertimbangkan untuk memodifikasi tarif 25% pada impor mobil asing dari Meksiko dan negara lain sempat memberi dukungan jangka pendek pada harga minyak. Namun, investor tetap skeptis terhadap arah kebijakan tarif yang sering berubah dan inkonsisten.
Menurut firma konsultan energi Gelber and Associates, pemerintah AS telah mengumumkan kebijakan tarif yang saling bertentangan, mulai dari pembebasan sementara terhadap barang elektronik hingga pengumuman tarif baru atas suku cadang mobil. Ketidakpastian inilah yang menjadi momok utama bagi pasar.
Risiko Konsumen dan Inflasi
Para eksekutif bank di AS memperingatkan bahwa belanja konsumen bisa menjadi korban utama dari pergolakan tarif ini. Jika harga barang impor naik, konsumen domestik kemungkinan akan mengurangi pengeluaran, yang akan berdampak langsung terhadap permintaan energi, termasuk bensin dan produk turunan minyak lainnya.
Menariknya, meskipun harga impor AS turun pada bulan Maret—sebagian besar karena turunnya harga energi—beberapa analis khawatir bahwa tarif tambahan justru dapat memicu inflasi. Kondisi ini akan menyulitkan Federal Reserve dalam mengambil kebijakan pelonggaran moneter karena kenaikan suku bunga bisa menjadi satu-satunya alat untuk mengendalikan inflasi.
Produksi AS: Naik Sekarang, Tapi Menurun di Masa Depan
Meskipun Presiden Trump dikenal dengan kebijakan pro-energi, termasuk dorongan untuk peningkatan pengeboran minyak domestik, laporan dari Badan Informasi Energi AS menunjukkan bahwa produksi minyak AS diperkirakan akan mencapai puncaknya pada 14 juta barel per hari pada tahun 2027. Setelah itu, diproyeksikan akan menurun dengan cepat menjelang akhir dekade ini.
Ini menjadi peringatan dini bahwa meskipun saat ini AS menjadi salah satu produsen terbesar dunia, kapasitas pertumbuhannya tidak akan tak terbatas dan perlu diseimbangkan dengan kebutuhan energi global yang dinamis.
Data Persediaan AS: Faktor Penentu Jangka Pendek
Pasar kini menantikan laporan persediaan minyak mingguan dari American Petroleum Institute (API) dan Energy Information Administration (EIA). Analis memperkirakan penarikan sekitar 1 juta barel dari cadangan minyak AS untuk minggu yang berakhir pada 11 April.
Angka ini menunjukkan pengurangan signifikan dibandingkan dengan peningkatan 2,7 juta barel selama periode yang sama tahun lalu, serta peningkatan rata-rata 4,2 juta barel dalam lima tahun terakhir. Data persediaan ini dapat memberi sinyal penting tentang permintaan jangka pendek dan arah harga minyak dalam beberapa pekan ke depan.
Kesimpulan: Pasar Minyak di Titik Kritis
Pasar minyak global kini berada dalam situasi yang kompleks dan penuh ketidakpastian. Ketegangan dagang, kebijakan tarif yang tidak konsisten, proyeksi permintaan yang lemah, dan ketidakseimbangan pasokan memperburuk kondisi pasar secara keseluruhan.
Meskipun pergerakan harga saat ini relatif stabil, risiko penurunan dalam jangka menengah hingga panjang masih cukup besar. Investor dan pelaku pasar kini memantau dengan cermat kebijakan Presiden Trump dan data ekonomi AS, yang bisa menjadi penentu arah harga minyak selanjutnya.
Jika konflik perdagangan memanas dan pertumbuhan ekonomi global terganggu, pasar minyak bisa memasuki fase bearish yang lebih dalam—dengan harga yang mungkin bergerak di bawah level $60 per barel dalam waktu dekat.